Oleh: Saiful Hadi
Jauh sebelum kemerdekaan diperoleh, sejarah mencatat ada berbagai perlawanan heroik dalam melawan tirani kaum kolonialis. Sebut saja seperti Teungku Fakinah, beliau termasuk salah satu sosok perempuan yang juga mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah. Ketika meletus perang, jiwa dan raganya tak gentar menghadapi rongrongan penjajah bahkan maju ke garda depan dalam menghadapi mereka semua.
Sebelum pecah perang dengan Belanda, beliau telah membangun Dayah (pesantren) di Aceh sebagai pusat pendidikan Islam. Gelar "Teungku" yang melekat pada namanya karena beliau adalah seorang ulama. Pesantren yang beliau bangun dikenal dengan nama Dayah Lam Diran yang merujuk kepada nama lokasi di Desa Lam Diran.
Sejak kecil Teungku Fakinah belajar dari Ayah dan Ibunya sendiri. Khusus dari ayah, beliau belajar bahasa Arab, fiqih, tasawuf, sejarah dan tafsir serta hadist nabi. Selain pendidikan agama beliau juga ikut pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.
Yang namanya cinta lokasi bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada seorang Teungku Fakinah. Beliau menikah dengan seorang perwira muda yang juga ulama, namanya Teungku Ahmad. Awal mula mereka berkenalan ketika sama-sama menempuh pendidikan militer hingga pada akhirnya berlanjut ke pelaminan. Setelah menikah, sepasang pengantin baru ini mengabdikan diri sebagai pengajar di pusat pendidikan islam Dayah Lam Pucok yang dibangun oleh ayah Teungku Fakinah.
Pada tahun 1873, saat Belanda memulai agresinya di Aceh. Suami beliau syahid ketika melakukan perlawanan dengan belanda di Pantai cermin. Setelah suami beliau syahid, Teungku Fakinah mengadakan kampanye perang ditengah kaum wanita. Atas izin dari sultan Alaidin muhammad Daud syah, beliau membentuk sebuah pasukan tingkat resimen yang terdiri dari empat batalion.
Bermula dari sini perjuangan beliau dimulai. Bersama para santri, berjuang tak kenal lelah melawan para penjajah. Setelah berbakti kepada agama, bangsa dan tanah air , pada tanggal 3 oktober 1933 M, Ulama sekaligus pahlawan besar tersebut berpulang kerahmatullah dalam usia 76 tahun.
Sementara di tanah jawa kita mengenal sosok KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, rekan seperguruan ini yang masing-masing berkendarakan Muhammadiah dan Nahdhatul Ulama, keduanya berjuang demi tergapainya kemerdekaan. Sejarah mencatat bagaimana peranannya ketika mengusir penjajah Belanda dan Jepang, pernah muncul fatwa dari KH. Hasyim mengenai haramnya memakai dasi bagi umat islam karena dianggap menyamai penjajah kuffar. Fatwa ini tak lain adalah untuk membangun pola pikir bagi masyarakat tentang betapa pentingnya untuk bersikap anti terhadap penjajah.
Selain tiga tokoh yang tersebut di atas, tentu saja masih ada segudang pejuang lainnya yang tidak mungkin disebutkan semua kontribusinya dalam tulisan singkat ini. Yang menarik dari ketiganya adalah, mereka sama-sama berasal dari lembaga pendidikan islam yang berupa Dayah atau Pesantren. Hal ini menggambarkan betapa besarnya peranan pendidikan dari Dayah atau pesantren sehingga lahirlah kader-kader unggulan yang berani melawan penindasan.
Kita semua tahu, Dayah atau pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia, di bawah bimbingan para ulama, generasi berkualitas digembleng sedemikian rupa supaya siap menghadapi tantangan dunia.
Rujukan:
Rethinking Pesantren, Prof. Nasiruddin Umar
Rethinking Pesantren, Prof. Nasiruddin Umar
COMMENTS