Seorang ulama besar di masanya Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitabnya "Taajul Aruus al-Haawii fii Tahdziibin Nufuus"
شتان بين أهل السعادة وأهل الشقاوة : فأهل السعادة إذا رأوا إنساناً على معصية الله أنكروا عليه الظاهر ، ودعوا له في الباطن . وأهل الشقاوة يُنكرون عليه تشفيا فيه ، وربما ثلبوا عليه عرضه ، فالمؤمن من كان ناصحاً لأخيه في الخلوة ، ساتراً له في الجلوة . وأهل الشقاوة بالعكس : إذا رأوا إنساناً على معصية أغلقوا عليه الباب وفضحوه فيها ، فهؤلاء لا تُنور بصائرهم ، وهم عند الله مبعدون.
- كتاب: تاج العروس الحاوي في تهذيب النفوس
"Beda jauh antara orang baik dan orang jahat, orang baik apabila melihat seseorang melanggar aturan Allah, mereka menegurnya secara terang-terangan dan mendoakan kebaikan untuknya secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan orang jahat menegurnya karena ingin menjatuhkannya, bahkan kadangkala sampai menodai kehormatan dirinya. Seorang mukmin adalah yang menasehati saudaranya dalam kesendirian lalu menutupi keburukannya di keramaian. Sedangkan orang jahat apabila mendapati saudaranya berbuat dosa, justru menutup pintu rapat-rapat lalu menyebarkan aibnya di keramaian. Mereka (orang jahat) itu, hati mereka tidak bercahaya dan mereka dijauhkan dari Allah."
Syeikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari (w. 1309 M) hidup di Mesir di masa kekuasaan Dinasti Mameluk. Ia lahir di kota Alexandria (Iskandariyah), lalu pindah ke Kairo. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Di kota tersebut ia menghabiskan hidupnya dengan mengajar fikih mazhab Imam Maliki di berbagai lembaga intelektual, antara lain Masjid Al-Azhar. Di waktu yang sama dia juga dikenal luas dibidang tasawuf sebagai seorang “master” (syeikh) besar ketiga di lingkungan tarekat sufi Syadziliyah ini.
Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Ia tergolong ulama yang produktif, tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, ‘Unwan at-Taufiq fi’dab al-Thariq, miftah al-Falah dan al-Qaul al-Mujarrad fil al-Ism al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syaikhul Islam ibn Taimiyyah mengenai persoalan tauhid. Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibn Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara ibn ‘Athaillah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.
Ibn ‘Athaillah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.
Ia dikenal sebagai master atau syaikh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah yang pendirinya Abu al Hasan Asy Syadzili dan penerusnya, Abu Al Abbas Al Mursi. Dan Ibn ‘Athillah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat syadziliah tetap terpelihara.
Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekat saja. Buku-buku ibn Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al Hikam yang melegenda ini. (yma) | Mudhiatulfata
COMMENTS