Al-Qur’an menggambarkan istri sebagai sawah ladang bagimu. Istri adalah tempat di mana kebutuhan biologis seorang suami boleh di salurkan. Bila istimta’ dengan wanita lain adalah zina yang mengandung dosa maka bermesraan dengan istri adalah ibadah yang mengundang pahala. Tapi awas! Jangan sentuh dia sesudah wudhu’ bila anda tidak ingin wudhu’nya batal.
Orang sering berlogika, “Bukankah menyentuh istri itu halal, kalau halal kenapa batal wudhu’ dengan menyentuhnya?.” Jawaban logisnya adalah “wudhu’ itu batal karena potensi getaran syahwat yang dihasilkan oleh sentuhan wanita. Potensi itu pasti ada ketika menyentuh istri sebagaimana dia ada ketika menyentuh perempuan ajnabi.
Karena itulah tidak batal wudhu’ menyentuh mahram karena bersentehun dengan mereka tidak berpotensi menimbulkan syahwat.”
Dalam mazhab Asy-Syafie bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan termasuk suami istri dapat membatalkan wudhu’ baik yang menyentuh maupun yang disentuh, dengan syahwat maupun tidak, disengaja maupun tidak disengaja kecuali bila ada penghalang walaupun tipis.
Lihat:
Imam An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Jeddah, Maktabah al-Irsyad, t.t), juz, 2, hal. 34.
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ الْتِقَاءَ بَشَرَتَيْ الْأَجْنَبِيِّ وَالْأَجْنَبِيَّةِ ينتقض سواء كان بشهوة وبقصد أم لا ولا ينتقص مَعَ وُجُودِ حَائِلٍ وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا وَبِهَذَا قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَزَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ وَمَكْحُولٌ وَالشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ وَعَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ وَالزُّهْرِيُّ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ وَرَبِيعَةُ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهِيَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ ….
“Sungguh telah kami jelaskan bahwa dalam mazhab kita (mazhab as-Syafi’I) batal wudhu’ dengan bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan bukan mahram, baik dengan syahwat atau tidak, baik dengan sengaja atau tidak. Bila ada penghalang walaupun tipis tidak membatalkan wudhu’.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Umar bin Khathab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Zaid bin Aslam, Makhul, As-Sya’bi, An-Nakh’I, ‘Itha’ bin As-Saaib, Az-Zuhri, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Rabi’iah, Sa’id bin Abdul ‘Aziz, dan merupakan salah satu dua riwayat dari Al-Auza’i.
Imam An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, (Jeddah, Maktabah al-Irsyad, t.t), juz, 2, hal. 36.
وَاسْتَدَلَّ مَالِكٌ ثُمَّ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُهُمَا بِحَدِيثِ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بن عبد الله ابن عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ (قَالَ قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ) وَهَذَا إسْنَادٌ فِي نِهَايَةٍ مِنْ الصِّحَّةِ كَمَا تَرَاهُ
“Dalil yang digunakan oleh Malik kemudian As-Syafi’I dan sahabat-sahabat keduanya adalah hadis Malik dari Ibni Syihab dari Saalim bin Abdillah Ibn Umar dari Bapaknya “Ciuman seoarang lelaki terhadap istrinya dan menyentuhnya dengan tangan termasuk dalam pengertian menyentuh (Laa mastum) dalam ayat. Maka siapa saja yang mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan ia wajib berwudhu’.” Hadis ini sanadnya sangatlah shahih sebagaimana kamu lihat. [Tgk Taufik Yacob - Pengurus Ikatan Penulis Santri Aceh]
COMMENTS