Oleh: Adinda Hanafiah (*)
Tanggal 17 Agustus merupakan hari paling bersejarah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana pada hari tersebut Negara ini telah memploklamirkan diri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan Bangsa lain. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini dari pendudukan bangsa asing secara paksa yang berabad-abad lamanya tidaklah suatu hal yang mudah didapatkan. Tidak hanya tetesan keringat yang mengalir membasahi tubuh pendahulu kita, tetapi kemerdekaan harus direbut dengan kubangan darah para pejuang bangsa yang ikhlas semata-mata untuk mempertahankan harkat dan martabat kita sebagai sebuah bangsa yang daulat.
Hari-hari terakhir, sungguh teramat sangat disayangkan jika ternyata cita-cita pendiri bangsa ini disia-siakan, malah oleh generasi bangsa yang ditinggal oleh indatu pejuang terdahulu. Dari banyak sector kehidupan, bangsa ini masih seperti bangsa yang belum merdeka. Bangsa ini seakan masih terjajah walau tanpa tank dan serdadu militer baik angkatan darat, laut maupun udara. Hari ini bangsa kita masih terjajah dalam cengraman tangan para koruptor yang masih merajalela, sedang disaat yang sama hukum belum mampu memberikan keadilan bagi rakyat yang terzalimi. Hukum yang seharusnya bersifat sama rata tanpa memandang bulu malah terbalik menjadi hanya tajam kebawah dan tumpul keatas, bagai mata pisau yang sewaktu-waktu bisa memotong urat nadi para kaum pinggiran sedang kaum elit kebal dari sentuhannya.
Di tengah populasi Penduduk yang semakin meningkat, perekonomian rakyat menurun drastic. Si miskin terus terpuruk dalam kemiskinan sementara si kaya menari-nari atas tangisan si miskin sudah menjadi pemandangan biasa di negeri ini. Pendidikan yang semestinya menjadi suatu hal yang di utamakan oleh pemerintah sebagai jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertera pada teks UUD 1945 dengan adanya program penggratisan nyatanya tidak memberikan dampak kemudahan apa-apa bagi kehidupan rakyat berekonomi lemah. Karena sekalipun katanya gratis, namun masih saja ada jenis-jenis uang hitam yang mesti dikeluarkan di dalam berbagai lembaga pendidikan. Bagamaina rakyat bisa cerdas, jika biaya pendidikan di sekolah-sekolah negeri saja mencekik. Katanya negeri, tapi kok bayar sih? Kok mahal sih? Maka wajar jika kita menemukan banyaknya anak-anak yang putus sekolah. Maka pantas kita bertanya benarkah kita sudah merdeka?
Sedih memang. Tetapi inilah gambaran negeri kita hari ini. Miris memang. Namun tidak ada hal yang mampu dilalukan oleh orang-orang biasa yang tidak memiliki power. Suaranya tidak akan didengar jika tidak memilki jabatan besar apa-apa. Tulisan kecil ini, penulis harap menjadi suara yang mampu membuka telingan para penguasa negeri ini. Semoga kita semua tersadar bahwa masih begitu banyak cita-cita kemerdekaan yang masih terabaikan. Semoga momentum perayaan kemerdekaan Indonesia tahun ini, negeri kita akan kembali khittahnya sebagai sebuah negera yang merdeka. Bukan hanya merdeka dari penjajahan, bukan hanya sekedar nama, melainkan benar-benar terimplementasikan secara nyata dalam kehidupan semua rakyat Indonesia.
(*) Anggota Fatayat Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA)
COMMENTS