Bagi kaum muslimin yang masih hidup dibebankan secara fardhu kifayah untuk mengurusi saudara-saudaranya yang telah meninggal, mulai dari memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya.
Dalam praktek penyelenggaraan jenazah sesaat setelah mayat dikuburkan sering kita saksikan adanya talqin terhadap mayat. Namun dewasa ini ada kalangan tertentu yang beranggapan bahwa talqin mayat tidak ada dasarnya, dan tidak jarang vonis bid'ah di alamatkan bagi pelaku talqin mayat.
Lantas, benarkah talqin mayat tidak ada dasarnya? Untuk menjawab hal ini mari kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar sebagai berikut:
Dalam Al-Azkar pada Bab مايقوله بعد الدفن، Imam Nawawi menjelaskan:
وأما تلقين الميت بعد الدفن فقد قال جماعة كثرون من أصحابنا باستحبابه
"Adapun mentalqin mayat setelah dikuburkan, maka sesungguhnya telah berkata kebanyakan ulama dari Ashab kami mengenai kesunahan melakukan hal tersebut"[1]
Masih dalam Al-Azkar, Imam Nawawi juga mengutip sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Imam Abu Umar bin Shalah mengenai masalah Talqin. Dalam Fatwanya Imam Abu Umar menjawab sebagai berikut:
التلقين هو الذي نختاره ونعمل به
"Kami memilih pendapat yang membolehkan talqin dan mengamalkan talqin tersebut."[2]
Ibnu Taimiyah juga pernah ditanyakan perihal talqin mayat, berikut penjelasan beliua:
(وَسُئِلَ) عَنْ تَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ دَفْنِهِ هَلْ صَحَّ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ عَنْ صَحَابَتِهِ ؟ وَهَلْ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَيْءٌ يَجُوزُ فِعْلُهُ أَمْ لاَ ؟ (فَأَجَابَ) هَذَا التَّلْقِيْنُ الْمَذْكُورُ قَدْ نُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ أَمَرُوْا بِهِ كَأَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ. وَرُوِيَ فِيْهِ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكِنَّهُ مِمَّا لاَ يُحْكَمُ بِصِحَّتِهِ وَلَمْ يَكُنْ كَثِيْرٌ مِنَ الصَّحَابَةِ يَفْعَلُ ذَلِكَ فَلِهَذَا قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ إنَّ هَذَا التَّلْقِيْنَ لاَ بَأْسَ بِهِ فَرَخَّصُوْا فِيْهِ وَلَمْ يَأْمُرُوْا بِهِ وَاسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَكَرِهَهُ طَائِفَةٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَغَيْرِهِمْ (مجموع الفتاوى لابن تيمية 24 / 296)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang talqin di kubur setelah pemakaman. Apakah hadisnya sahih dari Rasulullah Saw atau dari sahabat? Dan jika tidak ada dalilnya apakah boleh melakukannya atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Talqin ini diriwayatkan dari kelompok sahabat, bahwa mereka memerintahkan talqin, seperti Abu Umamah dan lainnya. Talqin juga diriwayatkan dari Rasulullah Saw tetapi tidak sahih, dan banyak sahabat yang tidak melakukannya. Oleh karenanya, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Talqin ini boleh. Mereka memberi dispensasi dan tidak memerintahkannya. Sementara sekelompok ulama dari kalangan Syafiiyah dan Ahmad menganjurkannya. Dan sekelompok ulama dari kalangan Malikiyah dan lainnya menilainya makruh" [3]
Apakah Talqin ada Dalilnya?
Dalam menjelaskan masalah talqin ini, Imam Abu Umar bin Shalah melanjutkan uraiannya sebagai berikut:
وذكره جماعة من أصحابنا الخراسانيين قال: وقد روينا فيه حديثا أبي أمامة ليس بالقائم إسناده، ولكن اعتضد بشواهد وبعمل أهل الشام به قديما.
"Sekelompok Ulama, Ashab kami dari khurasan menjelaskan: Sungguh telah kami riwayatkan mengenai masalah talqin sebuah hadist dari Abi Amamah yang tidak ditegakkan sanadnya, akan tetapi amalan tersebut didukung dengan kesaksian dan amalan penduduk Negeri Syam yang terdahulu." [4]
Dari uraian Imam Nawawi dan Imam Abu Umar bin Shalah, telah jelaslah ternyata mentalqinkan mayat sunah hukumnya, sehingga tuduhan bahwa hal tersebut tidak ada landasannya jutru telah dimentahkan oleh pendapat para Imam-imam ini.
Rujukan:
[1] Al-Azkar hal. 150, cet. Darul Hadist-Kairo
[2] Ibid
[3] Majmu' al-Fatawa XXIV, hal. 296
[4] Al-Azkar hal. 150, cet. Darul Hadist-Kairo
Baca juga: