Sebagaimana kita ketahui, bahwa shalat lima
waktu adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah mukallaf. Mukallaf ini
sendiri artinya adalah dibebankannya setiap hukum syariat karena telah baligh, baik
baligh dengan cara bermimpi atau dengan genap telah berusia 15 tahun
berdasarkan kalender hijriah. Kewajiban shalat tidak akan terlepas sebelum
shalat tersebut selesai dikerjakan.
Seandainya waktu shalat telah lewat apakah
masih wajib melaksanakannya? Maka jawabannya adalah tetap wajib dilakukan, dan
shalat inilah yang diistilahkan dengan shalat "qadha" karena
dikerjakan diluar waktu yang telah ditetapkan. Secara bahasa "qadha"
dan "ada' " sama-sama berarti "tunai", namun dalam
aplikasinya terhadap shalat yang dikerjakan di dalam waktu maka di istilahkan
dengan "ada' " sementara unutuk shalat yang dikerjakan diluar
waktu maka diistilahkan dengan "qadha". Dasar hukum dari
mengqadha shalat salah satunya adalah berdasarkan hadist Rasulullah. saw yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
"Telah menceritakan kepada kami 'Imran bin Maisarah berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail berkata, telah menceritakan kepada kami Hushain, dari 'Abdullah bin Abu Qatadah, dari Bapaknya berkata, ""Kami pernah berjalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, ""Wahai Rasulullah, sekiranya Tuan mau istirahat sebentar bersama kami?"" Beliau menjawab: ""Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat."" Bilal berkata, ""Aku akan membangunkan kalian."" Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: ""Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!"" Bilal menjawab: ""Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya."" Beliau lalu bersabda: ""Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!"" kemudian beliau berwudlu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.""" [Shahih Bukhari, Hadist No. 595] [1]
Dari hadis diatas sebagaimana yang diuraikan
dalam Buku 40 Masalah Agama, ada tiga ketentuan hukum yang
bisa dipahami dari hadist tersebut. Yang pertama; azan tetap sunat dilakukan
biarpun shalat tersebut sudah luput dari waktunya, sedangkan yang kedua shalat
sunat rawatib boleh diqadha, dan hukum yang ketiga adalah bahwa mengqadha
sembahyang hukumnya wajib karena nabi pun melakukannya.[2]
Mengenai masalah qadha
shalat, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Zainuddin Al-Malibary dalam Fathul
Muin, Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat bahwa apabila seseorang belum selesai
mengqadha seluruh shalatnya yang tertinggal haram hukumnya melaksanakan shalat
sunah.[3]
Pendapat Imam Mazhab mengenai Qadha
Shalat
Para Ulama sepakat bahwa barangsiapa yang
ketinggalan Shalat Fardhu maka ia wajib untuk meng-qadha-nya. Baik shalat
tersebut ditinggalkan secara sengaja, lupa, maupun karena ketiduran.[4]
Sementara wanita yang meninggalkan shalat
lantaran Haid dan nifas tidak wajib qadha walaupun waktunya luas. Hal ini
dikarenakan kewajiban shalat telah gugur dari mereka, sehingga jika tidak wajib
melaksanakan secara tepat waktu maka tidak wajib pula mengerjakan secara qadha.
Begitu juga dengan orang kafir yang telah memeluk islam, dia pun juga tidak
wajib mengqadha shalat selama masa kekafirannya, sementara murtad kewajiban
shalat tetap berlaku untukknya sehingga wajib diqadha jika telah kembali
kedalam islam.
Namun demikian, yang menjadi perselisihan
pendapat adalah tentang kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang
mabuk.
Mazhab Hanafi
mengatakan: Orang yang hilang akal karena benda memabukkan yang haram maka
diwajibkan qadha atasnya. Sedangkan orang yang hilang akal karena pingsan atau
gila, maka kewajiban qadha menjadi gugur dengan dua syarat:
Pertama: Pingsan atau gilanya itu
berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau
hanya lima kali shalat atau kurang dari itu maka wajib melaksanakan qadha. Kedua:
tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat, jika ia
sadar dan belum shalat, maka wajib qadha atasnya.
Mazhab Malik
: Orang gila dan pingsan wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk, apabila
disebabkan oleh barang yang haram maka ia wajib qadha, dan jika disebabkan oleh
benda yang halal, seperti orang yang meminum susu lalu mabuk, maka tidak wajib
qadha baginya.
Mazhab Hambali : Orang yang mabuk karena benda haram dan yang pingsan maka wajib
qadha shalat, sedangkan orang gila tidak wajib.
Mazhab Syafi’i : Orang gila tidak wajib qadha apabila gilanya
itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari), begitu juga orang yang
pingsan dan yang mabuk bukan dengan benda haram. Namun
jika mabuk dengan benda haram maka berlaku qadha untuknya.
Mazhab Imamiyah : Orang yang mabuk dengan minuman keras wajib qadha secara mutlaq,
baik ia meminumnya secara sadar atau tidak, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan
orang gila dan pingsan tidak wajib qadha atas mereka.
Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan
bahwa yang namanya shalat tetap wajib dilakukan biarpun telah keluar dari
waktunya, karena Hutang dengan Allah lebih berhak untuk dibayarkan.
Pendapat yang
Menyatakan Tidak Wajib Qadha
Setelah ditelusuri, pendapat
yang menyatakan tidak wajib qadha berasal dari Ibnu Hazm yang bermazhab Zahiri.
Beliua memfatwakan bahwa shalat yang ditinggalkan secara sengaja tidak perlu
diqadha, karena sesorang tidak lagi kuasa mengqadha shalat yang sudah ia
tinggalkan, dan kalau ia berbuat juga maka shalatnya itu tidak sah. Untuk itu
seseorang yang terlanjur meninggalkan shalat harus memperbanyak saja berbuat
kebajikan dan mengerjakan shalat-shalat sunat.
Hal yang senada dengan
Ibnu Hazm juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, menurut beliau shalat yang
ditinggalkan dengan sengaja maka tidak wajib untuk diqadha.
Dalam menanggapi pendapat
Ibnu Hazm, Imam Nawawi yang merupakan pemuka dalam Mazhab Syafie menjawab:
“Ibnu Hazm dalam masalah
ini telah menentang Ijma (kesepakatan) Imam-Imam Mujthid, dan dalil yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm adalah dalil yang batil”
Mungkin Ibnu Hazm
bermaksud baik dalam fatwa ini, yakni untuk memotivasi kaum muslimin agar
selalu berupaya mengerjakan shalat pada waktunya, karena jika terlewat maka
hilanglah kesempatan untuk mengerjakannya. Namun watak manusia akhir zaman kebanyakannya
lalai dari ibadah, sehingga dengan fatwa ini malah akan terjadi sebaliknya,
umat semakin enteng saja meninggalkan shalat.
Oleh karenanya, mari kita
laksanakan shalat tepat pada waktunya, dan sebaik-baiknya shalat adalah yang dilakukan
pada awal waktu sebagaimana sabda dari Rasulullah.saw:
قال ابن مسعود
: سألت النبى صلى الله عليه وسلم , أي لأعمال أفضل ؟ قال الصلاة لأول وقتها رواه الدارقطن
وغيره
Artinya:Telah berkata ibnu mas'ud, aku
bertantanya kepada rasulullah.saw, amalan apa yang paling utama? Bersabda nabi
saw: amalan yang paling utama adalah shalat pada awal waktunya (HR. Darulquthni
dan lainnya)
Rujukan
[1] Shahih Bukhari Jilid. 1 Hal. 146, cetakan Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah tahun 2009
[1] Shahih Bukhari Jilid. 1 Hal. 146, cetakan Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah tahun 2009
[2] 40 Masalah Agama
Jilid-2, KH. Sirajuddin Abbas. Hal. 149-162
[3] Fathul Muin, Bab
Shalat, Syaikh Zainuddin Al-Malibary
[4] Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah, edisi terjemahan hal. 132-133