Oleh: Saiful Hadi
Ulama terdahulu dalam menyusun kitab-kitab fiqih mereka, umumnya membuat sistematika dalam karyanya menjadi empat pokok pembahasan utama, yaitu mengenai ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat. Dan sering kita dapati pada kitab klasik, pembahasan pertama dalam masalah ibadah umumnya dimulai dengan mengupas bab thaharah. Bab ini dirasa amat penting karena erat sekali hubungannya dengan shalat yang merupakan rukun islam kedua.
Selain itu, dengan adanya bab ini menunjukkan betapa islam sangat menjujung tinggi nilai-nilai kebersihan, ada banyak hadist Rasulullah yang membahas tentang hal tersebut, dan bahkan kebersihan itu sendiri merupakan salah satu cabang dari keimanan.
Konsep Daur Ulang Air
Dalam pembahasan fiqih mazhab syafie, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Ghayah wa Taqrib karya Imam Abu Sujak, disebutkan bahwa secara kualitas air terbagi menjadi empat macam, yaitu, air mutlaq, mustakmal, musyammas, dan mutanajis. Dari empat macam jenis air tersebut, hanya air mutlaq saja yang boleh digunakan untuk bersuci, sementara air mustakmal biarpun statusnya masih suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Air Mustakmal didefinisikan sebagai air yang telah digunakan untuk bersesuci; baik mensucikan hadats maupun najis. Air tersebut masih dianggap suci namun kehilangan kemampuan untuk mensucikan, biarpun begitu masih boleh dipakai untuk keperluan lain seperti untuk dijadikan air minum.
Para ulama menjelaskan, air mustakmal jika dikumpulkan pada suatu tempat sehingga volumenya menjadi 2 kullah, maka air tersebut statusnya kembali menjadi air yang mutlaq sehingga bisa digunakan untuk bersuci. Menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqh wa Adilatu, air 2 kullah jika dikonversi dalam satuan modern setara dengan 270 liter.
Beranjak dari data-data tersebut, penggunaan air akan sangat efisien karena dapat didaur ulang. Dan tentu saja ketika dapat didaur ulang akan sangat menghemat pengunaan air. Sementara belakangan ini, ditempat-tempat ibadah, baik mesjid maupun musallah, air terbuang begitu saja setelah dipakai untuk berwudhu. Hal ini juga tidak terlepas dari desain tempat wudhu yang memang belum terintegrasi dengan sarana daur ulang air. Kenyataan ini mungkin juga sebagai akibat dari dikotomi agama dengan ilmu-ilmu umum.
Sebuah mesjid harusnya bukan hanya sekedar mempunyai bentuk yang indah, tapi juga mempunyai sarana sanitasi yang bersih dan suci sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Supaya dapat tercapai maksud tersebut, tentu saja seorang arsitek tidak hanya dituntut agar paham dalam hal mendesain, tapi sedikit banyak juga harus punya pemahaman tentang masalah fiqih.
Bersambung...
syukron..paparan menaarik..ditunggu bagian2 berikutnya ttg kajian fiqih arsitektur islam
ReplyDeleteSyukran jzk kang, InsyaAllah mohon doannya
Delete