Oleh: Saiful Hadi
Berbincang mengenai bab pernikahan, maka akan ditemui banyak topik yang menyertainya. Antara lain dalam hal memilih pasangan, terutama mengenai kriteria dari calon istri, sebab, ternyata wanita banyak jenisnya. Secara umum, ulama fiqih membedakan wanita menjadi dua jenis, yaitu wanita yang masih gadis dan yang sudah menjadi janda.
Lantas kenapa dibedakan menjadi demikian? Hal ini lantaran terdapat perbedaan hukum antara keduanya. Sebab, wanita yang masih gadis berhak untuk dipaksa menikah oleh walinya, dengan catatan calon suami yang dipilih oleh sang wali harus sekufu (seimbang) dengan anak gadisnya, dan tidak ada penolakan dari si gadis. Meskipun wali punya hak untuk memaksa, dalam hukum disunnahkan baginya memintai izin dari anak gadisnya ketika hendak ia nikahkan, dan diamnya seorang gadis sudah dianggap sebagai bentuk persetujuan.
Dalam istilah fiqih, wali yang punya hak untuk memaksa anak gadisnya disebut dengan wali mujbir. Biarpun demikian, sang wali tidak dibenarkan menikahkan anak gadisnya dengan calon suami yang tidak sekufu, sebab jika tidak maka pernikahan juga tidak sah.
Sementara untuk janda, tidak ada hak bagi wali untuk memaksa ia menikah dengan pilihan sang wali, sebab sebagaimana dalam hadist dari Daruquthni "Janda lebih berhak terhadap dirinya". Dalam memahami hadist tersebut para ulama berkesimpulan bahwa wali wajib memintai izin anaknya yang telah janda jika wali ingin menikahkannya lagi, seandainya si janda tersebut tidak mengizinkan maka wali tidak punya hak untuk memaksanya menikah.
Janda yang dimaksud dalam uraian di atas adalah wanita yang telah hilang kegadisnya karena persetubuhan yang terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah. Sementara wanita yang hilang kegadisan karena berzina atau karena bermasturbasi dengan tangganya, mereka dianggap sama dengan gadis pada umumnya, dalam artian wali mereka masih punya hak untuk memaksanya menikah. Secara fisik mereka memang telah janda, tapi dalam kacamata hukum mereka masih dipandang sebagai gadis karena tidak pernah menikah sebelumnya.
Rujukan:
Hasyiah Ianatuttalibin Juz 3 hal. 308-309
Hasyiah Ianatuttalibin Juz 3 hal. 308-309
COMMENTS