Oleh: Ustaz Ahmad Sarwat, Lc., MA | Rumah Fiqih Indonesia
Dewasa inj memang seringkali kita temukan, kepada calon istri diberikan mahar hafalan Quran. Memang mahar seperti ini tidak sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga lainnya.
Lalu sang pengantin pria membacakan hafalan surat yang ada di kepalanya di depan sang calon istri saat itu juga. Dan tentunya juga didengar oleh seluruh hadirin yang ada.
Kiyai yang memberikan penjelasan kepada Anda itu memang tidak salah. Sebab memang ada hadits yang menyebutkan mahar hafalan quran untuk sang istri.
Dan tidak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar hafalan quran. Sehingga wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa boleh mahar hafalan quran. Lengkapnya hadits itu sebagai berikut :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَة. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhari Muslim).
Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar hafalan quran, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar.
Pendapat Ulama menganai Mahar Hafalan Quran
Namun bukan rahasia lagi bahwa dalam menarik kesimpulan hukum kita menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada dalil yang sama.
Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah pemberian yang berupa harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa hafalan ayat Al-Quran, meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami dengan benar sebagaimana maksudnya.
a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah menjadi hafidz (penghafal) Al-Quran. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya bukanlah sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain.
Bila mahar berupa hafalan Al-Quran, justru melanggar pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar itu pemberian dan hafalan Al-Quran tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak bisa dicopykan hafalan Al-Quran seperti komputer.
b. Memahami Dalil Dengan Benar
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan hadits di atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Quran?
Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh dan tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan bagaimana Rasulullah SAW menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi mahar berupa hafalan Al-Quran. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu.
Awalnya Rasulullah SAW meminta agar mahar berupa harta, tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau SAW membolehkan harta dengan nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat, Rasulullah SAW pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Quran.
Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan Al-Quran, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan ujug-ujung langsung mahar berupa hafalan Al-Quran.
c. Memahami Hadits Dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan sepotong hadits.
Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja, tanpa melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil syar'i lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Dan memakai dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab secara sepotong-sepotong. Dan Al-Quran sendiri mempertanyakan tindakan ini sebagai tindakan yang keliru.
Maka selain hadit di atas, kita juga harus melihat hadits lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah SAW. Rasululah SAW sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Quran. Padahal beliau adalah oran yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Quran.
Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa harta. Kepada Khadijah radhiyallahuanha diriwayatkan maharnya berupa 10 atau 100 ekor unta. Kepada Aisyah dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.
كَانَ صِدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً وَنَشًّا قَالَ: قَالَتْ: أتَدْرِى مَا النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ: لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.
Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para isteri beliau adalah 12 Uqiyah dan satu nasy". Aisyah berkata,"Tahukah engkau apakah nash itu?". Abdur Rahman berkata,"Tidak". Aisyah berkata,"Setengah Uuqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar Rasulullah saw kepada para isteri beliau. (HR. Muslim)
Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi. Dan perbandingan nilai dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu dinar di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dihram.
Jadi kalau mahar Rasululah SAW itu 500 dirham, berarti dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 41 ekor kambing. Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya sejuta rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 40-an juta rupiah.
d. Bukan Memamerkan Hafalan Tetapi Mengajarkan
Dan hadits di atas juga harus disesuaikan dengan hadits lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
اِنْطَلِقْ لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ
Dan dalam riwyat lain oleh Muslim : Nabi SAW bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.
Maka yang dijadikan mahar bukan pameran hafalan Al-Quran di majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk mengajarkan Al-Quran berikut dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.
Dan kita dapati dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Kesimpulan
Kalau yang dimaksud bahwa mahar hafalan Al-Quran itu sekedar memamerkan hafalan Al-Quran, nampaknya masih agak jauh dari makna dan maksud mahar yang sesungguhnya.
Namun kalau yang dimaksud adalah dengan hafalannya itu seorang suami mengajarkan Al-Quran, maka jasa mengajar itu adalah salah satu wujud harta juga. Logika ini menurut hemat penulis agak lebih masuk akal dan nalar kita.
Bukankah mahar Nabi Musa 'alaihissalam kepada istrinya juga berupa jasa juga. Jasa yang dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10 tahun lamanya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,