Oleh: Saiful Hadi
Selain Al-Quran, hadist
Rasulullah juga menduduki posisi penting sebagai pegangan utama dalam Ajaran Islam.
Kedudukannya sama penting dengan Al-quran, dan hadist ini pula yang menjadi
sumber utama yang menafsirkan isi Al-Quran. Lantas, apabila didapati sebuah
hadist yang shahih apakah harus langsung dijadikan sebagai dalil begitu saja?
Bahkan ada yang berkata lagi, bukankah Imam Syafi’i mengatakan Apabila sahih hadits maka itulah mazhabku,
sehingga jika kita mendapati sebuah hadist shahih ya ikuti. Penjelasan mengenai wasiat Imam Syafi'i tersebut baca disini.
Namun ternyata tidaklah semudah
itu, sebab terkadang kita dapati ada beberapa hadist yang statusnya sama-sama
shahih namun sekilas makna antara keduanya malah saling bertentangan, sehingga
bukannya mendapat petunjuk malah membingungkan. Hal ini bisa terjadi karena
terkadang lafaz suatu hadist masih Aam (umum), sementara yang lain Khas
(Khusus), ataupun lafaz hadist tersebut memang sama-sama umum. Sebagai Contoh:
Dalam sebuah Hadist Rasulullah Bersabda : “Sejelek-jelek
saksi adalah orang yang bersaksi sebelum ia diminta untuk memberikan kesaksian”,
sedangkan dalam hadist lain beliau bersabda : “Sebaik-baik saksi adalah yang bersaksi sebelum ia diminta untuk
memberikan kesaksian”.[1]
Dari dua contoh hadist di atas,
disatu kesempatan Nabi menyatakan “sejelek-jelek saksi”, dan pada hadist yang
lain “sebaik-baik saksi”. Jelas sekali antara dua hadist ini terlihat saling
bertentangan, namun oleh para Ulama menjelaskan kedudukan hadist pertama dibawa
kepada suatu keadaan jika orang yang menuntut kesaksian itu sudah mengetahui
isi kesaksian tersebut, oleh karena demikianlah Rasulullah mengecapnya sebagai
sejelek-jelek saksi. Sementara hadist kedua dibawa kepada satu keadaan jika
orang yang menuntut kesaksian itu tidak mengetahui isi kesaksian yang dimaksud
[2]. Setelah ada penjelasan dari para
ulama maka jelaslah kedudukan masing-masing hadist sehingga tidak menimbulkan
kontrakdiksi.
Orang Awam Harus Mengikuti Ulama
Rasulullah telah berpesan bahwa
Ulama adalah pewaris beliau, sehingga sebagai orang yang awam sudah sepantasnya
mengikuti petunjuk-pentunjuk dari ulama, bukan malah sebaliknya. Sebab jika
ilmu belum mumpuni namun nekat yang ada bakal nyasar dalam memahami dalil. Bukan
dalilnya yang salah namun pemahamannya yang kurang benar. Bahkan Imam
As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:
فتاوى
المجتهدين بالنسبة إلى العوام
كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى
المجتهدين
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi
orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa
as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336). [3]
Apa yang disampaikan oleh Imam
As-Syathibi cukup beralasan, karena dalil syari’ bagi orang awam ibarat bahan
mentah, jika tidak bisa memasak untuk apa diberi bahan mentah, bukankah lebih baik
memakan saja apa yang telah diracik oleh para Imam Mujtahid yang memang sudah
ahli dibidangnya.
Rujukan:
[1] Syarah Waraqat, Fasal Tentang Ta'arudh (Kontradiksi)
[2] Ibid